Portalio

Thursday, July 26, 2007

Enviro jatuh dan cinta

Awal dua tangkai bunga membawa bingkisan cetak biru.
Tak usah kau tunjukkan padaku, sendirinya nampak sosok cetak biru itu.
Terima kasih dua sahabatku, kalian membawa suka perasaan gembiraku.
Lama menanti cetak biru tidak mengisi kesendirian ini, kucoba dekati.
Sungguh semakin cepat langkah kakiku, semakin dekati warna birunya.

Aku ini tak bisa diam, menyandang manis di muka birunya, akulah Enviro.
Enviro sudah terbangun, dunia ini adil bagi Enviro yang percaya seperti aku.
Disaat ada cetakan yang hilang, muncul cetakan yang baru.
Dirasa hilang aroma cintaku, terbuai kembali aromaku, kau cetakan biruku.
Ini perasaan biasa bagi insan sepertiku, tapi terasa memerah raut mukaku.

Cetakan biru, kau bermainlah ke tamanku, kupetik bunga-bungaku untukmu.
Meski dua bunga berada, kurasa tak berduri, tetaplah mereka bunga-bungaku.
Kaulah yang akan mewarnai dinding tamanku, kusamnya dengan warna birumu.
Tak hentinya aku mengganggumu, aku rasuki coretanmu dengan indahku.
Rasakan tebar pesonaku, lewati pintu biru di tamanku.
Pintu biru yang hanya ada satu di tamanku, tak pernah terkunci hanya untukmu.

Hari jadiku semakin dekat, harapku dekapan ini tertoreh cetakan biru.
Aku tak bernyali, Enviro macam aku ini, lihat padaku karena diriku ini wanita.
Benarkah adanya bungaku berkata, cetakan biru cuek bebek layaknya kau.
Kutunggu, kunanti warnamu di tamanku, dahaga tamanku tak berwarna.
Seiring menanti kuingin sendiri, bingung jadinya, sempit, penat, ingin bertemu.
Cobalah mengerti . . .

Unforgotten

Kabar pohon lemas saat itu, daun keringnya gugur terbalik.
Ayahnya jatuh sakit juga, tak disangka sulit latar saat itu.
Tersentuh Kuning di dekat pohon, meraba ranting keringnya, sembuhkan luka.
Bantu pohon menjulur dekati sang ayah, tersenyum mengikis duka sembuhkan raga.
Momen itulah Kuning bias bohong, cengkeraman pikiran yang keras dilepas.
. . . teringat Ayahanda tercinta,
. . . terbaring tenang,
. . . senyuman manis,
. . . lautan sejuk di wajah,
. . . dekapan hangat di tangan,
. . . alunan tutur kata yang menari sopan di telinga,
Kuning, sesaat itulah yang dirasa.
Coba Kuning hibur diri, tawanya sedikit berharap hapuskan kesedihan berlarut.

SAME . . .

2006 di Mei XXIII, kira–kira disekitar itulah.
Masih terasa sedak pinta, namun tanpa linang air mata.
Bersama Kuning dan mereka, kokohkan jari-jari lingkaran.
Mencari sayatan dan batu yang merusak pilar lingkaran itu.
. . . . . . sama macam biasanya, yah begitu itu saja adanya sulit berubah.
Tak lama tambah lagi adanya, tak dihargai Kuning tulus atas niatnya.
Sudah akarnya sulit berubah dan dirubah, merobohkan pilar saja.
Seperti 2006 di Mei XXI, tak ubahlah lingkaran itu tetap retak.
Kali kedua, ya tuhan bimbing dan tuntunlah mereka . . .

MEI 2006 - KAKI AYAM

Masih terasa sedak pinta, namun tanpa linang air mata.
Saat ada Kuning dan mereka, mencoba membangun lingkaran itu.
Mencari sayatan dan batu yang merusak pilar lingkaran itu.
Bersama Kuning dan mereka, kokohkan jari-jari lingkaran.

Tak lama tambah lagi adanya, tak dihargai Kuning tulus atas niatnya.
Sudah akarnya sulit berubah dan dirubah, merobohkan pilar saja.
Pijar tak wajar kunang lagi, jari-jari lingkaran memuai dan mengelupas.
Lagi-lagi kebohongan, kejujuran yang tak pasti, memang kurang ajar.
Merasa kah mereka malu, dasar makhluk tak tahu malu.
Persetan kah mereka, memang muka tebal, pantas sebutan mereka itu.
Sekali lagi, ya tuhan bimbing dan tuntunlah mereka . . .

MEI 1306 - AROMA

Satu bulan kurang lebihnya, kesadaran atas mereka muncul di benak.
Serasa teduh dipeluk, bukan lagi batu-batu di kepala hanya kerikil.
Kasih maaf Kuning mekar tersenyum, memberi aroma putih di baju.
Ranting kering tak lagi menajam, hawa panas tak lagi marah.
Lepas penat, lega hati ini.

Ah . . . tak taulah.
Semoga perasaan ini tetap terjaga.

MARET 1306 - PERISAI

Seperti biasanya, sang Kuning agak terlambat untuk tidur.
Sulit untuk terlelap, batu–batu di kepala masih terlalu keras untuk dihancurkan.
Berat, sungguh membuat berat untuk ditanggung sendiri.
Sang pohon terlelap dan kunangpun redup.
Hati Kuning menyendiri menunaikan kewajiban padaNya.
Mereka membuat Kuning berlinang menangis.
Sedih, prihatin, adanya tak bercampur.

Sang Kuning mencoba mencorat-coret bajunya.
Baju yang sungguh masih bersih dari kotoran.
Hitam baju yang siap dirubah menjadi putih.
Coretan putih yang diharapkan akan menyertai Kuning menjadi tenang.
Tak cukup tenang, bersih ingin, damai dan bahagia ingin bersama mereka.
Bila perlu hapusan pada hitam tanpa perlu dikenang.
Hitam yang hanya membuat Kuning buta, pasif, tak dinamis, dan mati.
Namun putih yang akan membuat Kuning bersinar, seperti bintang.
Yang dapat menerangi dan merobek hitamnya malam, membuat mereka terjaga.

Sepintas nampak Kuning, pohon, dan kunang satu lingkaran.
Pohon yang memberi rasa teduh dan iyup, pun relaks.
Kunang yang memberi cahaya saat Kuning belum mampu menjadikan dirinya bersinar sendiri.
Perisai dari panas dan kehangatan saat mendingin di Hyubwaya.
Namun apa, hanya terasa kebohongan di dalam lingkaran itu.
Didih keringat melalui pori tanpa iyupnya daun-daun pohon.
Merangkak, mengendap, dan meraba tanpa arahan kunang.
Layak seorang buta, lelah, letih mencuat, hati menahan sabar.

Acuh tinggalkan Kuning dengan sisa keringnya.
Jatuh daun-daun menutup Kuning, mengotori lingkaran itu.
Panas di Hyubwaya antara ranting kering menajam Kuning.
Sang kunang memijar, menambah marah hawa panas.
Kuning pikir, terang hari tak wajar itu kunang.
Dengarkan alunan sedak pinta Kuning, perih linang air mata.
Tak kasihan kah kau pada Kuning, kalau putihnya menguap.
Apa jadi kalau linang air mata Kuning mengering, menguap merah.
Jangan sampai coretan putih itu tertutup noda hitam.
Memang cerita ini tidak tertulis di batu.

Saraf mata menjerit hingga meneteskan linang air mata.
Pendewasaan Kuning sekarang tanpa seorang ayah disisinya.
Hanya doktrin, prinsip, dan semangat yang selalu menuntunnya.
Mencoba mengerti perasaan mereka, tapi lingkaran itu lenyap.
Ah, malam ini semakin menjadi tanpa mereka.
Ya tuhan bimbing dan tuntunlah mereka . . .